Radinal Aidin

Blognya Poetra Pangkep

Blognya Anak Pangkep

Siri' Na Pacce Sebagai Prinsif Kehidupan

Siri' Na Pacce Sebagai Prinsif Kehidupan Siri' : Siri' diartikan sebagai rasa malu dan harga diri. Bagi masyarakat Sulsel dan Sulbar, konsep Siri' dalam bentuk prinsip hidup yang telah mendarah daging dan termanifestasikan pada kehidupan sehari-hari berupa sikap saling menghargai, saling bekerja sama, menjaga kehormatan keluarga, adat dan lain-lain. Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.

Siri' Na Pacce Sebagai Prinsif Kehidupan
Badik Senjata Khas Bugis Makassar

A. Rahasia Siri’ Na Pacce sebagai Prinsip Kehidupan

Siri' Na Pacce bukan peristiwa yang selalu dan semestinya di gambarkan dengan badik', tetapi badi merupakan integritas Bugis Makassar
Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:

Pertama adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan citra yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).

Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain dari pada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya. Seorang yang suka mencuri, atau yang tidak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua kurang Siri’nya”.

Yang kedua adalah : Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin).

Jadi Bagaimana Rahasia Dari Konsep Siri’ Na Pacce seharusnya ?
Dalam sebuah tulisannya Maula Nusantara mengatakan bahwa : “Falsafah keberanian orang bugis-makassar bukan seperti, “Ini dadaku, mana dadamu!” tidak sesombong dan searogan itu, falsafah keberanian orang bugis-makassar itu bijak, seperti pelaut yang berkata “kualleangngangi tallangan na toalia” artinya, aku memilih tenggelam dari pada kapal kembali surut ke pantai. Jangan langsung ditafsirkan aku memilih mati daripada mundur. Bukan seperti itu. Ketika seorang pelaut mengucapkan itu sebelum berlayar, dia berangkat dengan niat dan tujuan yang jelas, benar dan terang.

Watak yang keras tidak harus menjadikan diri kasar dan semaunya dalam bertindak. Kita berani karena kita berada dalam posisi yang benar, dan memang harus diperjuangkan. Dalam kehidupan bermasyarakat misalkan, jika ada penghinaan terhadap keluarga maka otomatis kita harus bertindak, tidak boleh diam hanya karena ada rasa takut. Dalam bertindak pun tidak mesti diselesaikan dengan ujung badik karena kita berada dalam ruang Indonesia. Ada hukum yang mengatur dan norma norma yang berlaku. Begitupun dalam konteks pengembangan diri, posisi sebagai Mahasiswa misalkan, Siri’ bisa dijadikan cambuk untuk diri sendiri. Malu karena bodoh, malu karena tidak mampu untuk mengembangkan diri. Karena memiliki siri’ maka ia akan berusaha untuk memperbaiki itu semua disertai dengan kerja keras yang tidak bertentangan dengan norma norma yang ada.

Beragam dinamika masyarakat sulsel yang terjadi, hingga berimplikasi terdistorsinya makna siri’ na pesse, mengakibatkan disintegrasi tafsir dalam konstruk individu atau kelompok. jika di tinjau dari :

Nilai filosofis :
Dimana siri na pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis - Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan meliputi prototipe watak orang Makassar yang terdiri atas reaktif, militan, optimis, konsisten loyal, pemberani, dan konstruktif.
Nilai etis :
Dimana siri na pacce terdapat nilai-nilai etis meliputi teguh pendirian, setia, tahu diri, berkata jujur, bijak, merendah, ungkapan sopan untuk sang gadis, cinta kepada Ibu, dan empati.
Nilai estetis :
Dimana siri na pacce meliputi nilai estetis siri na pacce alam non insani terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, alam hewani.
Dari perspektif siri ', ada beberapa konsep budaya dianggap sebagai bagian integral dari budaya Bugis. Ini konsep telah dianggap sebagai titik awal sehubungan dengan menanggapi orang lain. Pelaksanaan siri 'dalam kehidupan sosial sehari-hari dari Bugis diwujudkan dalam lima prinsip perilaku atau sebagai ujud prinsif kehidupan

1. Ada Tongeng (kata benar)
Ada tongeng adalah prinsip kata-kata di mana yang harus bicara kebenaran. Ini memerlukan keharusan moral untuk setiap orang tunggal orang Bugis untuk jujur dalam menceritakan apa-apa. Selain itu, ADA tongeng juga berarti bahwa setiap kata disajikan harus selalu membawa baik untuk kehidupan. Salah satu harus selalu berusaha untuk menghindari kata apapun yang mungkin menimbulkan bahaya bagi individu atau kelompok lain.

2. Lempuk (kejujuran)
Lempuk adalah prinsip tindakan di mana kita harus selalu melakukan benar. Ia harus mencoba untuk menghindari melakukan sesuatu yang tidak benar. Prinsip ini mencakup kewajiban bagi setiap orang di Bugis masyarakat untuk menjadi kenyataan dalam kedua kata-kata dan tindakan.

3. Getteng (keteguhan)
Getteng adalah prinsip sikap yang satu harus selalu memiliki sikap yang berbeda atau perusahaan tentang satu hal. Untuk Bugis, memelihara atau mempertahankan posisi yang diyakini sebagai benar, adalah harus. Hal ini mengakibatkan tren di antara Bugis akan tetap di posisi apapun dia telah memilih.

4. Sipakatau (saling menghormati)
Sipakatau adalah prinsip komunikasi dalam mana yang harus alamat lain dengan cara terbaik. Ini berarti tertentu persyaratan yang harus dibawa dalam berhubungan dengan orang lain. Untuk orang Bugis, seorang manusia sebenarnya adalah entitas khusus dan unik dalam dunia dan harus direspon dalam penghormatan penuh. Hal ini karena setiap orang memiliki baik rasional maupun emosional bakat yang harus diperhitungkan. 18 Inter-religio 45 / Summer RI 2004

5. Mappesona ri Dewata seuwae (disampaikan kepada kehendak Allah)
Mappesona Dewata Seuwae Mappesona Ri Dewata Seuwae Adalah prinsip religiusitas yang setiap manusia harus menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Prinsip ini menyiratkan bahwa manusia harus semuanya subjek tentang kehidupan kepada kehendak Allah. Implikasi dari ini Prinsip adalah bahwa setiap Bugis harus memiliki agama dan oleh karena itu harus selalu mengikuti ajaran agama yang dia milik untuk.
Peranan siri’ dalam kehidupan masyarakat
Peran utama siri 'dalam masyarakat adalah untuk melindungi semua anggota masyarakat dan memungkinkan mereka untuk hidup dalam harmoni. Jika semua anggota masyarakat masih menghargai siri 'sebagai acuan utama dalam mengatur melakukan yang baik maka semua anggota masyarakat akan menikmati menghasilkan manfaat dan akan hidup dalam situasi yang baik. Atas dasar titik ini jelas bahwa nilai inti dari budaya Bugis bertepatan dengan pesan universal dari semua agama, yang membawa baik bagi manusia.

B. Konsepsi Kebudayaan Tentang Kepemimpinan Bugis Makassar

Dari data yang ditemukan dalam kepustakaan Bugis-Makassar serta hasil-hasil kajian para cendekiawan manusia Bugis-Makassar, ditemukan suatu karakter yang menjadi dasar kepemimpinan Bugis-Makassar seperti yang diungkapkan dalam wujud pappaseng berikut:
Sadda, mappabati Ada
Artinya : Bunyi mewujudkan kata
Ada, mappabati Gau
Artinya : Kata mewujudkan Perbuatan
Gau, mappabati Tau
Artinya : Perbuatan Mewujudkan Manusia
Tau sipakatau
Artinya : Manusia Memanusiakan Manusia
Mappaddupa
Artinya : Membuktikannya dalam Dunia Realitas
Engkai Siri’ta nennia Pesseta
Artinya : Kita Memiliki Siri dan Pesse
Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng, tenricau, maradeka nennia assimellereng
Artinya : Kesucian hati, kejujuran, keteguhan, keberanian, kerja keras dan ketekunan, kecendekiaan, daya saing yang tinggi, kemerdekaan, kesolideran
Makkatenni Masse ri
Artinya : Berpegang teguh pada
Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena
Artinya : Keyakinan serta bertawakal kepada
Alla Taala
Artinya : Kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa
Menurut Mattulada (1996) harkat dan martabat yang menjadi “syirrun” atau “asrar” yang berarti hakikat seseorang yang pada lidah orang Bugis pada umumnya berarti “siri”, juga bermakna kalbu atau nurani manusia. Siri itulah menjadi fokus bagi segala upaya manusia merealisasi diri dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatannya. Siri pulalah yang membawanya ke dalam interaksi sosial, yang secara bersama terikat dalam “Pesse”, yang berarti daya dorong yang kuat untuk mengambil tindakan “Siri”. Karena itu, apabila terjadi masalah “Siri”, maka sebagai wujud kendalinya adalah kadar “Pesse” yang ada pada diri setiap individu. Individu yang memiliki nyali yang besar akan mengambil langkah yang besar pula, sedangkan individu yang memiliki nyali yang kecil akan bertindak pula sesuai dengan kadar nyalinya. “Siri” dan “Pesse” adalah dua unsur yang memiliki muatan utama atau keutamaan pada “Tau”, manusia secara individu.

Berdasarkan pandangan itu terwujudlah performansi khas manusia Bugis-Makassar yang tersimpul dalam sebuah frase atau ungkapan, yaitu: TODDO PULI TEMMALARA. Toddo Puli bermakna tertancap dengan kuat, berketetapan hati secara sungguh-sungguh; temmalara bermakna tidak goyah. Jadi, toddo puli temmalara berarti berketetapan batin yang kuat dan tidak tergoyahkan.
Toddo Puli Temmalara ri Wawang Ati Mapaccinnge Nassibawai Alempureng
Artinya : Teguh tak Tergoyahkan pada Hati yang Suci-bersih disertai dengan Kejujuran
Toddo Puli Temmalara ri Assimellerennge
Artinya : Teguh tak Tergoyahkan pada Persaudaraan
Toddo Puli Temmalara ri Resoe
Artinya : Teguh tak Tergoyahkan pada Usaha
Toddo Puli Temmalara ri Panngaderennge
Artinya : Teguh tak Tergoyahkan pada Panngadereng
Toddo Puli Temmalara ri Taro Taumaegae
Artinya : Teguh tak Tergoyahkan pada Ketetapan Orang Banyak

C. Kearifan Lokal Dalam Makna Siri' Na Pacce Sebagai Karakter Bangsa

Kearifan budaya lokal merupakan energi potensial dari sistim pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan peradaban, sebagai warisan dalam sejarah budaya masyarakat.

Peradaban lampau Bugis Makassar, dengan segala kearifannya, selalu tumbuh secara alami dan menjadi titah yang dititipkan oleh leluhur mereka, amanat kearifan terangkat dari teks-teks seperti pappaseng, lontara attoriolong, Massure’, pa’ dissengeng ati macinnong dll, terangkum sebagai gambaran dalam membaca siklus perkembangan awal: masa kerajaan, perkembangan spiritual, adat-istiadat, maupun silsilah keluarga bangsawan. Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat "local wisdom" atau pengetahuan setempat "local knowledge" atau kecerdasan setempat "local genious”, spesifikasi ini merupakan pandangan hidup, sekaligus strategi kehidupan yang berwujud sikap-aktivitas yang dapat dilakukan masyarakat pendukungnya dalam menjawab berbagai masalah kehidupan, ke-nilai kearifan kerefleksi siri’ na pace dalam bermasyarakat dan berbudaya.

Kearifan lokal sebagai norma dalam membentuk jati diri bangsa,
kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini”.
menghargai', konsep sirik'/ harga diri', konsep pacce/'kesetiakawanan', konsep panngalik'/ perasaan hormat dan konsep panngadakkang /adat-istiadat/. Konsep sipakatau dalam aplikasinya menjadi inti atau pangkal dalam interaksi social, sesuai dengan nilai-nilai kearifan yang mengkristal dalam diri Bugis-Makassar, sebagai mana pula Konsep siri`/ harga diri adalah suasana hati dalam masyarakat, yang menjadi "pertahanan martabat diri" yang timbul secara emosional, ke-bahasa sikap dengan simultan nilai-nilai khusus.

Konsep pacce solidaritas:
penanaman solidaritas merasa iba hati melihat sesama warga yang mengalami penderitaan atau tekanan batin dikarenakan perbuatan orang lain dan musibah. Konsep panngali'/ perasaan hormat adalah penanaman sikap hormat dan saling menghargai sesama, juga termasuk kepada sesuatu yang dianggap bersih-suci.
Ke-semua konsep ini merupakan sikap moral yang menjaga stabilitas dan berdimensi harmonis agar tatanan sosial atau adat istiadat berjalan secara dinamis.

Kearifan lokal dalam sastra Bugis klasik. Sastra Bugis klasik meliputi Sure Galigo, Lontarak, Paseng/Pappaseng Toriolota/ Ungkapan, dan Elong/syair. Sastra Bugis klasik, seperti Galigo (yang dikenal sebagai epik terpanjang di dunia), Lontarak, Paseng (pesan-Pesan), dan syair mengandung kearifan masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Kearifan lokal yang menjadi fokus utama meliputi bawaan hati yang baik, konsep pemerintahan yang baik (good governance), demokrasi, motivasi berprestasi, kesetiakawanan sosial, kepatutan, dan penegakan hukum. Kearifan itu memiliki kedudukan yang kuat dalam kepustakaan Bugis dan masih sesuai dengan perkembangan zaman.Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing). Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi.
Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. Dalam Lontara’ disebutkan:

Dua kuala sappo, unganna panasae, belo kanukue (Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)
Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara Lontara’ dapat dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis, segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih. Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.
Kedua, manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Lontara’ menyebutkan:

Atutuiwi anngolona atimmu; aja’ muammanasaianngi ri ja’e padammu rupa tau nasaba’ mattentui iko matti’ nareweki ja’na apa’ riturungenngi ritu gau’ madecennge riati maja’e nade’sa nariturungeng ati madecennge ri gau’ maja’e. Naiya tau maja’ kaleng atie lettu’ rimonri ja’na. (Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada keturunannya keburukan itu.)

Kutipan Lontara’ di atas menitikberatkan pentingnya seorang individu untuk memelihara arah hatinya. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk selalu berhati bersih kepada sesama manusia akan menuntun individu tersebut memetik buah kebaikan. Sebaliknya, individu yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi seorang individu untuk memikirkan hal-hal buruk terhadap sesama manusia. Dengan kata lain, agar setiap individu dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam hidup sesuai dengan cita-citanya, ia terlebih dahulu harus memelihara hatinya dari penyimpangan-penyimpangan. Jika menginginkan orang berbuat baik kepadanya, ia harus terlebih dahulu berniat dan berbuat baik kepada orang tersebut.

Ketiga, manusia tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosi-emosi, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan, melainkan diatur suatu pedoman (toddo), yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian ia tidak diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu dan perasaan dangkal. Jadi, pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom dan lebih mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya. Dalam Lontara’ Latoa ditekankan bahwa bawaan hati yang baik menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik pula, yang sekaligus menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati memegang peranan yang amat penting. Bawaan hati yang baik mewujudkan kata-kata dan perbuatan yang benar yang sekaligus dapat menimbulkan kewibawaan dan apa yang diucapkan akan tepat pada sasarannya:

Makkedatopi Arung Bila, eppa tanrana tomadeceng kalawing ati, seuani, passu’i ada napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja, matellunna duppai ada napasau, maeppa’na, moloi ada napadapi. (Berkata pula Arung Bila, ada empat tanda orang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya.)
Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Bugis, hati dan pikiran yang baik merupakan syarat untuk menghasilkan kebaikan dalam kehidupan.

D. Etos Siri’ na Pacce

Di dalam sebuah syair sinrilik[1] ada sebuah semboyan kuno masyarakat Bugis-Makassar yang berbunyi “Takunjunga’ bangung turu’, nakugunciri’ gulingku, kualleangnga tallanga natoalia”. Syair tersebut berarti “layarku telah ku kembangkan, kemudiku telah ku pasang, ku pilih tenggelam daripada melangkah surut”. Semboyan tersebut menggambarkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian yang begitu tinggi dalam menghadapi kehidupan. Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai orang-orang yang suka merantau atau mendatangi daerah lain dan sukses di daerah tersebut.

Apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pribadi yang pemberani dan tangguh? Atau apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai orang yang sukses di daerah sendiri dan daerah yang didatanganginya? Jawabanya adalah etos siri’ na pace. Para pemimpin yang berasal dari tanah Bugis-Makassar menerapkan etos ini sebagai gaya kepemimpinan mereka.
Wasasalam
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Budaya dengan judul Siri' Na Pacce Sebagai Prinsif Kehidupan. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://radinalaidin.blogspot.com/2012/03/siri-na-pacce-sebagai-prinsip-kehidupan.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Selasa, 26 Februari 2013

4 komentar untuk "Siri' Na Pacce Sebagai Prinsif Kehidupan"

  1. tulisan di atas teramat bagus, hanya tidak mencantumkan daftar pustaka.

    BalasHapus
  2. bisa minta daftar pustakanya? saya asal sulsel tp lagi kuliah di bandung dan rencana ingin mengangkat budaya bugis makassar sebagai tema skripsi. dsini agak susah dapat literatur tentang siri' na pacce. terimakasih :)

    BalasHapus
  3. bisa dibantu daftar pustakanya ? sekarang saya sedang penelitian tentang siri na pacce disemarang. terima kasih :)

    BalasHapus